Pada kesempatan itu, dosen pembimbing masing-masing kelas akan turut serta untuk berkomunikasi lebih dekat dengan mahasiswa yang dibimbingnya secara langsung di alam. Dengan harapan, saat berkulaih nanti, para mahasiswa tidak berhenti di jalan, dan tidak mengalami gangguan belajar. Memang, gaya belajar mahasiswa baru masih dalam perubahan dari gaya belajar di sekolah menjadi gaya belajar di kampus. Perubahan itu harus cepat berlangsung sehingga mahasiswa dapat menemukan gaya belajarnya yang bermuara pada cepat lulus dan berprestasi.
Senin, 13 Oktober 2008
Angkatan 2008 Ikuti Samba di Celaket, Pacet
Semua mahasiswa 2008, 16 s.d. 19 Oktober 2008 ikuti program Sambut Mahasiswa Baru (Samba) yang diadakan BEM JBSI, FBS, Unesa. Sejumlah 193 mahasiswa akan mengeksplorasi diri sebagai mahasiswa melalui berbagai pelatihan dan simulasi. "Mereka kami harapkan dapat menjadi diri sendiri dan berprestasi dalam perkuliahan", kata Suyatno, kajur JBSI.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Belajar menjadi diri sendiri dan gaya belajar?
Memang kita mudah mengatakan dua hal di atas. Tetapi, apakah menjadi diri sendiri itu? Apakah mungkin menjadi diri sendiri bila tanpa faktor pendukung dari diri sendiri (internal) dan orang lain atau lingkugan (eksternal)? Tidak mudah mahasiswa sekarang untuk menjadi diri sendiri, karena --setidaknya, selama dua belas tahun (sejak masuk Sekolah Dasar) sudah dibentuk menjadi sapi-sapi perah. Mereka menjadi tunggangan para guru atas nama ilmu pengetahuan. Kita, memang baru saja mencoba menerapkan apa yang disebut "Student centre". Tetapi apakah dalam pelaksanaannya, sudah bisa dinimati oleh para pelajar. Kemarin, kita baru saja menerima khabar, ada siswa SMKN 1 Lumajang, babak belur di tangan gurunya, karena tidak memakai identitas lengkap. Beberapa saat yang lalu, saya mendengar dari salah satu dosen Unair, bahwa mahasiswa baru menjadi pelayan bagi kakak kelasnya. Ironis. Ya, Ironis.
Sedangkan, gaya belajar. Siapakah dosen yang telah memberikan kewenangan pada mahasiswanya untuk menggali ilmu pengetahuan tanpa harus melakukan tatap muka, tetapi mahasiswa melakukan eksplorasi akademis di bangku-bangku perpustakaan. Tatap muka bagi dosen seharusnya hanya 25%. Tetapi, di perguruan tinggi kita, semakin banyak tatap muka dan pamer kata-kata di depan mahasiswa dianggap semakin baik. Bukankah itu pembodohan? Bukankah itu. pendidikan gaya Bank? Mahasiswa ditabungkan ilmu pengetahuan, kemudian saat UTS dan UAS dilakukan "cek Saldo"? Berapa jumlah ilmu pengetahuan yang telah mereka simpan? dst. Mari kita renungkan kawan-kawan... tq@autar
hmm.. kemaren ga bisa ikutan, maaf..
Aku pake skala prioritas, ada hal lebih penting. Wah.. sukses yah buat samba pertamanya
Posting Komentar